TopMenu

Pages

Wednesday, April 24, 2013

Femina Foodlovers Blog Competition 2013



Hi guys, I’m joining a competition from Femina Magazine, so for this post only, I will write on Bahasa Indonesia. Hope you didn’t mind and wish me luck ok! ;D

 

Street food atau ‘makanan pinggiran’ selalu ada tempat tersendiri di hati saya. Tumbuh besar di kota Jakarta dimana berbagai pendatang dari daerah-daerah memberikan pengaruhnya tersendiri, sungguh melatih lidah saya untuk menyukai keragaman kuliner Indonesia. Asin, manis, pedas, asam, berkuah, dibakar, semuanya ada. 

Bisa dibilang makanan- makanan pinggiran inilah yang selalu menjadi kebanggaan saya ketika berbicara dengan teman- teman dari negara lain. Apakah yang membuatnya berbeda? Saya bisa menjawab ……. sensasinya! Sensasi makan dipinggir jalan, ditemani polusi udara yang tidak terkira. Sensasi kepanasan dan keringatan, karena hanya menggunakan ‘AC alami’. Sensasi antara makan duduk tanpa meja ataupun tidak duduk sama sekali ( oh yeah! ). Sensasi perut kenyang, padahal uang yang dikeluarkan hanya Rp.10.000 ( plus es teh  :p ). Adakah yang bisa menandingi sensasi seperti yang disebutkan diatas?? Saya rasa tidak ada :D

Dengan beragamnya rasa dan jenis masakan yang ada di seluruh Indonesia, rasanya tidak cukup waktu untuk bisa merasakan semuanya. Jujur, keliling seluruh Indonesia dan mencicipi semua masakannya, masih ada di ‘bucket-list’ saya. Karena masing – masing daerah mempunyai ciri khasnya sendiri, bahkan kadang ,jenis satu masakan yang sama bisa menjadi suatu masakan yang berbeda di masing-masing kota. Contohnya, Soto. Soto Madura berbeda dengan Soto Betawi, Soto Betawipun berbeda dari Soto Lamongan, Soto Lamonganpun  beda dengan Soto Kudus. Soto Kudus pun berbeda dari Soto Padang. Soto Padang pun berbeda dari Soto Medan.

Dari nama- nama soto tersebut diatas, tahukah kalian perbedaannya masing- masing? Saya yakin tidak semua orang mengetahui betul perbedaannya masing- masing, sayapun juga begitu awalnya. Banyak kalangan muda sekarang lebih berminat kepada makanan- makanan berbau barat, dibanding makanan negeri sendiri. Lebih pilih pizza daripada makan gado- gado, lebih pilih burger daripada makan sate.  Kalau perilaku seperti ini diteruskan, akan berbahaya pastinya dikemudian hari. Warisan kuliner yang sudah turun temurun dapat saja hilang atau bisa – bisa diambil lisensinya oleh negara sebelah ( oops !).
Soto Kuning Bogor

Seberapa banyak dari kita mengetahui apa itu Tengkleng? Atau Kapurung?  Atau Sego Kucing ? Kadang kalau saya pergi makan sama teman- teman dan memesan Tinutuan ( Bubur Manado ) yang suka ada di food court mall, masih ada saja yang terheran dan menanyakan, “ itu apa?” Yah mau bagaimana lagi, kita hidup di masyarakat yang punya pola pikir, budaya luar tuh lebih keren, budaya sendiri mah ‘tidak asik/ gaul’. “Mana keren malem mingguan nongkrong diwarung pinggir jalan?”, mungkin itu yang ada di benak kita masing-masing.
Tengkleng Solo
Sate Padang

 Sewaktu ada kesempatan tinggal selama 1 bulan di luar negri, saya jadi menyadari bahwa tidak ada yang dapat menandingi kuliner negri sendiri. Dengan keseharian makan steak, keju, salad, membuat lidah saya bosan dengan rasa yang itu- itu saja. Rata- rata hanya asin, gurih atau manis. Beda dengan jajanan atau makanan yang ada di Indonesia, pagi saya bisa makan makanan yang asin gurih, siang saya bisa makan yang pedas, malam saya bisa makan sesuatu yang manis, keberagaman dan variasi inilah yang membuatnya saya selalu rindu.

Kalau ditanya apa makanan favorit saya ? Saya akan jawab, Bakso! Haha… Saya selalu suka makanan- makanan yang berkuah, maka dari itulah bakso adalah makanan favorit saya. Kalau lagi hujan, pengennya makan bakso, kalau lagi pilek pengennya makan bakso, kalau lagi tidak mau makan berat, pengennya makan bakso juga. Perpaduan panasnya kuah bening namun gurih dengan tekstur bakso yang kenyal, belum lagi ditambah sambal yang pedas dan juga… cuka ( personal preference ), selalu bikin nagih. Dari Bakso Solo,  Bakso Malang, ataupun Bakso Singkawang, bisa jadi saya santap minimal 1kali seminggu. 

Seperti contoh yang sudah saya sebutkan diatas, saya juga penggemar berat Soto. Soto Ayam Ambengan dan Lamongan adalah favorit saya. Gurihnya bumbu koya selalu menambah sensasinya tersendiri. Saya punya satu tempat langganan makan soto, yang setiap kesana saya boleh dengan bebas menambah koyanya. Heaven ! Membicarakan makanan pinggiran juga tidak lepas dari seafood pinggir jalan. Kebetulan didekat rumah ada sebuah tempat seafood yang terkenal, yang rasanya kita sudah pesan berbagai menu sampai kenyang, pada akhirnya kita hanya membayar Rp30.000/orang. Sungguh sebuah hal yang patut disyukuri apabila tinggal di Indonesia :p
Sop Kambing

Pada akhirnya satu hal yang menjadi perhatian adalah masalah kebersihan atau kesehatan. Saya suka dengan celetukan seorang teman yang masih saya suka pakai sampai sekarang “Gembel aja engga mati”. Haha… Kalau yang tidak mengerti, maksudnya adalah para pemungut atau yang tidak mampu saja tidak apa-apa ketika makan makanan yang kotor, apalagi kita? :p Kadang kalau makan makanan pinggiran, kita hanya bisa menutup mata ( “jangan lihat dapurnya “) dan pastinya membaca doa sebelum makan, jangan sampai perut menjadi sakit sehabis makan makanan tersebut. 

Banyaknya oknum-oknum yang mencemari kuliner kita dengan memakai bahan- bahan kimia berbahaya hanya demi keuntungan pribadi, juga sangat mengkhawatirkan. Yah seperti halnya pemakaian boraks pada daging bakso atau pemakaian pewarna pakaian pada makanan, hal – hal tersebut lah yang bisa membunuh kuliner dan juga penduduk kita secara perlahan-lahan. Sangat memprihatinkan. Tetapi apa daya apabila masyarakat kita ini belum teredukasi dengan baik, dan sekali lagi tidak ada wadah bagi para- para pedagang makanan ini.

Saya masih suka merindukan bebek goreng yang waktu dulu dijual oleh seorang bapak di jalan Gardujati, Bandung. Sayang sekali karena sang bapak sudah dipanggil yang di Atas, tidak ada yang meneruskan resep yang dia punya. Inilah permasalahan yang juga sering kali timbul di hasanah kuliner kita. Keterbatasan modal, tenaga maupun ilmu manajemen yang baik seringkali membunuh para pedagang –pedagang ini, padahal mereka adalah ujung tombak kuliner kita.
Nasi Kalong

Pada akhirnya kita hanya bisa berharap pada pemerintah untuk lebih lagi memperhatikan warisan kuliner nusantara berikut para pedagangnya. Agar kemudian hari kita bisa mencapai kualitas dan mutu yang baik disetiap makanan kita, sehingga suatu hari kuliner Indonesia-pun bisa lebih lagi dikenal masyarakat dunia. Dan kita sebagai warga, apakah yang bisa kita lakukan? Dengan lebih mencintai dan mengapresiasi  berbagai macam makanan Indonesia, dan tidak malu untuk menunjukkannya pada dunia  ( lewat social media contohnya ), saya rasa sedikit banyak dapat membantu menjaga warisan kuliner negri ini. Last words, Aku Cinta Masakan Indonesia! setuju ? :D

Monday, April 22, 2013

Giyanti Coffee Roastery

Hidden gems. That's what it comes to mind when I first stepped in this coffee shop. Seriously I still didn't know who's the person who recommend me this place. But I remember some friend talking about it. I've asked 3 of my friends, and they said they never know about this coffee shop. Weird right? haha ..... Fate ? Could be. 


Atmosphere :
Located at the back of a beauty clinic, Nujaniv, there is an interesting vibe in this coffee shop. They separate the place into indoor ( No Smoking ) and Outdoor ( Smoking Area ), both really makes you feel at home.The indoor area was decorated with rustic- industrial decor, with many interesting center pieces. The outdoor one, really makes you feel like your in the middle of Bali Garden. Relaxing !


Price : 
IDR 20.000 - 50.000/ person

Tasting Notes :
The more interesting part of this coffee shop is, first, they serve single origin coffee, that they bought directly to the farmers! Mostly they use coffee from Bali, Java, or Sumatra. I do ask them why they chose to bought on their own. They said by doing that, we can appreciate them more ( paid them appropriately ) and they can do the better quality control. 
Located on Jl. Surabaya which is a touristy spot, many of their customers are tourist or westerner. You know that they are more critical than us, Asian :p So it's a must for them to serve a fine quality of coffee, plus, introducing them our local coffee. 
One of their passion is to educate the customers with Indonesian coffee. The owner himself, Hendrik, never hesitate to talk about the coffee to give them better knowledge ( including me ! yay )

The other interesting part is, Hendrik was roasting and serving the coffee himself! ( Nothing could go wrong with that right? ;p ). And yes, he's using a manual piston espresso machine, Victoria Arduino. It really takes skills and passion to use this kind of machine. 


So at my second time I ordered Flat White - IDR 37.000,- This coffee using the Java one, the results is very mild, low acid and you can taste the chocolate notes. 
The first time I came here, I was ordering their Cappuccino - IDR 34.000,- using the Bali coffee, the results was full bodied and acidic. When I said it was too acidic for me, he makes another one for me :D


Besides coffee, Hendrik's wife, Monica, also have a passion in baking. So they also serves some mini pies, Beef Pie, Apple pie and Chicken Mushroom Pie. The first time I came here, I was trying their Beef Pie. The filling was so generous, and the taste also bring Indonesian flavor in it. It taste almost like Rendang, bit spicy but still light.
The Apple Pie was also the most favorite they said. Compared to the Apple pie that I used to eat, this one was more like the Australian one. No cinnamon flavor, and the filling was quite sour. It was interesting though since I rarely had this kind of Apple Pie :D





Giyanti Coffee Roastery
www.giyanticoffeeroastery.com
Jl. Surabaya No.20, Menteng
Jakarta Selatan
Phone    :  ( 021 ) 3192 3698
Opening Hours ( Take Notes on This :p ) : Wednesday - Saturday, 9.30 am - 5.30 pm
Facebook  : GiyantiCoffeeRoastery
Twitter     : @giyanticoffee